(Cerpen) : Perempuan di Penghujung Senja

Perempuan di Penghujung Senja

Perempuan tua itu melangkah pulang. Pada senja yang baru saja hilang. Langkahnya terasa gamang. Beban di atas kepalanya tak berkurang sedikitpun. Begitu juga dengan satu beban lagi, yang terpanggul di pinggul kiri.

Ia hanya sanggup berkeliling satu atau dua desa. Menjajakan kain dan pakaian anak yang ada dalam keranjangnya. Tak seperti dulu, saat masih muda. Lima hingga enam desa sanggup dirambahnya.

Sebenarnya bisa saja ia tak pulang. Dimanapun tempatnya, ia bisa melepaskan penat yang membebat tubuhnya. Namun itu dulu, bukan sekarang! Kini ia telah dianugerahi seorang cucu, yang selalu setia menanti kedatangannya di pintu depan rumah.

Kadang justru itulah yang membuatnya terbebani. Bila senja hampir tiba dan belum ada satupun barang dagangan yang terjual, rasa kalut pun memagutnya. Seperti ada kabut tertuang dari langit yang menghalangi pandangannya tiba-tiba. Seketika itulah rasa sesak menyeruak ke dalam benaknya.

Tak hendak ia mengkhawatirkan diri. Ia telah terbiasa tak makan nasi berhari-hari. Cukup air kendi dan dua potong ubi. Itulah menunya tiap pagi. Namun Tole, cucunya?

Acap kali air matanya tumpah mendengar suara Tole yang merintih kelaparan. Cucu semata wayangnya itu kadang meraung keras-keras. Sia-sia usahanya membujuk Tole untuk makan ubi lagi.

“Aduh, lapar Nek! Bosan kalau makan ubi terus-terusan!”

Seusai meraung-raung, badan Tole biasanya demam. Peluh mengucur dari sekujur tubuhnya. Bila begitu, perempuan itu bergegas pergi ke kebun belakang rumah yang tak terlalu luas. Diambilnya daun ketela dan daun pepaya. Ia lalu menumbuk dan memasaknya dengan sedikit air. Racikan itulah yang selalu mampu membuat Tole bugar kembali di waktu pagi.

Demikian juga dengan tadi malam. Saat Tole menggeliat demam, dengan cekatan dimasaknya ramuan yang sama. Namun kali itu cucunya tak langsung tidur seperti biasa. Mata Tole tetap terjaga hingga tengah malam. Ia tahu. Bila Tole seperti itu, berarti ada sesuatu yang diinginkannya. Ketika ia memberanikan diri bertanya, Tole mengatakan sesuatu yang membuatnya terperangah.

“Nek, Aku ingin sekolah…”

Setahun yang lampau, permintaan yang sama juga meluncur dari mulut yang sama. Kala pertama mendengarnya, bumi serasa bergoncang hebat. Hingga ia merasa perlu berpegangan erat pada tiang bambu rumah. Bagaimana mungkin permintaan itu bisa ia kabulkan? Biasa sekolah pastilah mahal. Lebih mahal dari biaya hidup mereka berdua setiap bulan. Bukan itu saja. Tole, yang kedua kakinya lumpuh, pasti tak akan diterima bila bersekolah di desanya.

Dua hari setelah itu, saat menjajakan dagangan di dekat sekolah, ia mendapati Tole yang tengah termenung sendiri di belakang sekolah itu. Kontan ia heran. Bagaimana sang cucu bisa sampai di situ?!

“Wito, temenku yang menggendongku kemari, Nek!” jelas Tole. “Aku ingin belajar, Nek. Ingin mendengarkan pelajaran dari guru-guru. Dari tempat ini apa yang mereka katakan bisa kudengar semuanya. Jadi nenek tak perlu menyekolahkanku lagi.”

Dengan getir, segera digendongnya Tole pulang. Ia lalu berjanji, setahun lagi pasti ia bisa menyekolahkan cucunya itu.

Tadi malam tepat setahun sudah. Dan rupanya Tole masih ingat pada janji yang pernah ia katakan itu. Dalam igauan demam, Tole berkali-kali meracau ingin bersekolah. Bahkan hingga pagi tadi, saat sepiring penuh nasi dihidangkannya, permintaan yang sama juga terlontar dari cucu semata wayangnya itu.

“Doakan dagangan nenek laku, yah Le! Biar cukup uang untuk daftar sekolahmu!” ucapnya, sebelum meninggalkan Tole seperti biasanya.

***

Diangkatnya lagi keranjang yang masih penuh berisi barang dagangan. Letih dan penat mengelilingi desa tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan beban yang akan dihadapinya sebentar lagi. Beban ketika ia berhadapan dengan cucunya, yang selalu menunggunya di depan pintu rumah. Tole pasti akan bertanya tentang sekolahnya.

Makin gamang ia mengayun jalanan pematang yang tak seberapa lebar itu. Sungguhpun kedua kakinya seolah mempunyai mata yang terlatih, yang biasa menuntunnya dalam gelap, namun entah mengapa malam itu ia bisa tersandung. Hingga tubuh rentanya hilang keseimbangan. Barang dagangannya pun ikut terjatuh berhamburan.

Setengah mengeluh, ia memunguti barang-barangnya yang berserakan. Ia berdiri kembali dan berjalan dengan lebih hati-hati. Sesampainya di depan rumah, tak tampak bayangan Tole. Tak biasanya. Lampu rumah juga belum menyala.

Rasa panik mencekik kerongkongannya. Berkali-kali ia hendak membuka suara. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dengan segera ia menurunkan semua barang dagangannya. Bergegas ia ke dapur, menyalakan korek api. Didapatinya Tole berbaring di kamar. Dengan riang, ia mendekap dan mencium kening Tole berkali-kali sembari memanjatkan syukur tiada henti.

“Tole, maafkan Nenek, yah?!” katanya pelan. ”Nenek belum bisa menyekolahkanmu besok pagi. Tapi nenek janji akan menyekolahkanmu secepatnya…”

Sepi. Tak ada sahutan.

Perempuan itu menyalakan korek api lagi. Dalam temaram cahaya yang tak terlampau terang, tampak olehnya nasi yang tersaji masih utuh, sepertai belum tersentuh. Dengan cepat pandangannya beralih ke cucunya. Wajah tole terlihat agak membiru. Dahinya pun terasa dingin. Tak seperti tadi pagi!

Dengan tergesa, dibukanya baju Tole dan diletakkan telinganya di dada sang cucu. Tak ada detak…

***

Makam desa letaknya persis berada di belakang sekolah. Hanya terpisahkan oleh kebun kecil. Di tempat itu, seorang perempuan duduk termangu. Sendiri menatap langit yang memerah tembaga. Suara teriakan anak-anak sekolah yang riang berkejaran di sepanjang siang, kini sudah tak terdengar gemanya.

“Beristirahatlah dengan tenang, Le,“ terdengar suaranya yang lirih. “Besok engkau akan mulai sekolah, mulai mendengar pelajaran baru. Di sini…engkau bisa bersekolah sepanjang waktu…”

Repost dari judul yang sama, dengan editting di sana-sini.

47 thoughts on “(Cerpen) : Perempuan di Penghujung Senja

  1. saturindu said: silakan…:)ditunggu komennya, yang pedas yah,…pakai lombok 5, mentimunnya yang banyak….:))

    udah komen tuh, kelewat pastinya, kebanyak ngepos..kenapa dikau suka nama tole sih? waktu kecil dipanggil tole sama nenek ya?lombok mahal boh.. 40ribu/kilo sekarang..

  2. saturindu said: silakan…:)ditunggu komennya, yang pedas yah,…pakai lombok 5, mentimunnya yang banyak….:))

    Duh terharu bacanya, orangtuanya Tole kemana Mas ?Nek betapa kuatnya dirimu menjalani hari2….

  3. ivoniezahra said: Ceritanya sedih, tp enak dibcnya. Mengalir tau2 udh diakhr. Cuma kok g ada konfliknya mas?

    wah…berarti Ivon terlalu hanyut…sampai2 gak berasa konfliknya…huehue.konflik ada bermacam2, ada konflik internal (konflik yang terjadi di alam pemikiran sang tokoh), dan konflik eksternal (konflik sang tokoh dengan tokoh lain, masyarakat/budaya, alam/lingkungan)cerita yang sedikit dialognya, biasanya lebih mengedepankan konflik internal, sebagaimana cerita di atas.

  4. deikka said: Duh terharu bacanya, orangtuanya Tole kemana Mas ?Nek betapa kuatnya dirimu menjalani hari2….

    duh, saya lupa nanya pada neneknya…ntar kalau ketemu lagi saya tanyakan yah….huehuesebuah potret kehidupan kaum bawah, yang sering membikin hati trenyuh

  5. tintin1868 said: udah komen tuh, kelewat pastinya, kebanyak ngepos..kenapa dikau suka nama tole sih? waktu kecil dipanggil tole sama nenek ya?lombok mahal boh.. 40ribu/kilo sekarang..

    hoahhhm,,,,*kok tahu kalau banyakan ngepos?:))simple aja, mbak…panggilan ‘Tole’. wah, udah lupa..dulu nenek manggil saya apa…:))kalau di sini 45000/kg.

  6. tintin1868 said: udah komen tuh, kelewat pastinya, kebanyak ngepos..kenapa dikau suka nama tole sih? waktu kecil dipanggil tole sama nenek ya?lombok mahal boh.. 40ribu/kilo sekarang..

    selesai baca semua postingan,,beberapa dilewatkan, novel khususnya karena ingin baca pas sudah terbit ajah :DNice walking walking in ur blog ^^ #english ngawur

  7. tintin1868 said: udah komen tuh, kelewat pastinya, kebanyak ngepos..kenapa dikau suka nama tole sih? waktu kecil dipanggil tole sama nenek ya?lombok mahal boh.. 40ribu/kilo sekarang..

    ahhh, baca ini jadi biru suasana hatiku *halah

  8. tintin1868 said: udah komen tuh, kelewat pastinya, kebanyak ngepos..kenapa dikau suka nama tole sih? waktu kecil dipanggil tole sama nenek ya?lombok mahal boh.. 40ribu/kilo sekarang..

    orangtuanya tole ga tanggung jawab ya ?haruuu ceritanya mas suga

Leave a reply to saturindu Cancel reply