(Cerpen): Langit Tujuh Belas

Sayangku yang terkasih dan tercinta, apa kabarmu di sana? Berlembar-lembar fajar yang kusimak, tiada secercah mentarimu yang tampak. Kadang kubertanya, benarkah kita menjejak di bumi yang sama? Dan benarkah kita masih mendongak di langit yang sama?

Atau jangan-jangan engkau sudah hijrah ke langit tujuh belas?! Katamu, di sana tanahnya lebih berwarna-warni. Serupa warna-warni pelangi yang pernah sekali waktu kita jumpai. Udaranya juga lebih segar, dengan berbagai aroma yang membugarkan tubuh. Ada Lavender, Ginseng , Jasmine, Orchard atau bebunga lain. Langitnyapun tidak melulu biru.

“Langitnya bisa berubah kapanpun kita suka,”ucapmu kala itu, dengan nada sungguh-sungguh. “Aku paling suka mewarnai langit dengan ungu Magnolia, kuning Lemon Tea, atau merah Strawberry. Tapi kalau tidur, biasanya kuubah menjadi bening transparan.”

“Oiya?” tanyaku pura-pura tertarik. Sebenarnya masih tak kupercaya segala ucapanmu itu.

“Yang bening-bening biasanya menjernihkan. Berada di sekeliling bening, pikiran kita akan menjadi lebih jernih.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Bukannya bening menyilap mata?!”tanyaku. “Seperti wadah transparan, bukankah kita tak akan pernah tahu wadah itu berisi atau kosong? Kecuali kalau menyentuhnya. Atau masuk ke dalamnya.”

“Engkau jangan salah. Berisi dan kosong adalah dua hal yang tak pernah terpisah. Wadah yang kosong sesungguhnya berisi. Begitu juga sebaliknya, yang berisi itu sesungguhnya juga kosong.”

Aku bergumam resah. Bagiku bahasamu terlampau ‘wah’, jauh dari jangkauan nalarku. Aku menggali muasal perbincangan kita. Ah, langit tujuh belas…

“Semua hal sebenarnya ada dalam pikiran kita,”jelasmu. “Begitu juga dengan langit tujuh belas, yang mengendap di alam mimpi.”

“Jadi keberadaan langit itu hanya sekedar mimpi?”

“Bukankah memang selalu begitu? Segala sesuatu bukankah memang selalu diawali mimpi? Wright bersaudarapun harus mimpi dulu, sebelum mereka benar-benar bisa terbang melanglang buana—“

“Tapi lain,”kataku tak sependapat. “Ada wilayah yang menjadi kuasa manusia, dan ada wilayah yang menjadi otoritas penuh sang pencipta. “

“Dan dimanakah batasnya? Manusia tak akan pernah tahu seberapa besar kuasa yang mereka punya, sebelum mereka mengusahakannya.”

“Yah, benar.”Aku mengamini. “Tetapi yang kumaksudkan urusan penciptaan alam. Bukankah Tuhan hanya menciptakan tujuh langit? Belum pernah disebutkan dalam kitab manapun, tentang langit kedelapan dan seterusnya.”

“Itu karena penyebutan dan penghitungannya dilakukan dengan cara konvensional , dengan pola stabil bilangan asli. Wajar saja dari 7 langit penyebutannya akan menjadi langit 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7. Coba kalau pola yang dipakai adalah pola acak seperti bilangan prima, pasti akan muncul langit 17. Karena penyebutannya akan seperti ini: Langit 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17.”

“Oh, jadi langit ketujuh belas itu sebenarnya sama dengan langit ketujuh?”

“Itu kalau kita pakai logika angka. Lain halnya kalau kita memakai logika mimpi.”

Logika mimpi? Logika yang mana pula itu? Aku mendesah. Lantas kubertanya,“jadi, sebenarnya dimana letak langit tujuh belas?”

“Langit itu terendam di alam mimpi. jika ingin melihatnya, kita mesti menyelamnya di kedalaman mimpi.”
Ah, sayangku. Aku jenuh membicarakan langit ketujuh belasmu. Tak bisakah sejenak engkau diam, membiarkan angin yang berkata-kata untuk kita? Sejenak, biarkan kepalaku bersandar di bahumu. Dari tadi otakku terlalu letih memahami penjelasanmu.

Ah, sayang sekali, engkau keburu berlalu.

Sayangku yang terkasih dan tercinta, berkali-kali kuketuk alam mimpi. Kumasuki telaganya, dan menyelam sedalam-dalamnya. Tapi tak jua kudapati langit tujuh belas itu. Apakah aku salah arah? Ataukah kurang dalam menyelamnya? Ah, lelah rasanya berendam berlama-lama. Memejamkan mata berhari-hari ternyata membuat penat. Apalagi jika terserang dehidrasi. Tubuh makin lunglai tak berdaya.

Sayangku yang terkasih dan tercinta, sejak dirimu tak lagi beredar mengitari hari-hariku, serasa lumpuh semesta waktuku. Berjam-jam ku hanya diam. Membiarkan diri dirajam penghujan, atau disengat panas yang kian meranggas. Pada panas demam yang meninggi, akupun tak sadarkan diri.

Ketika membuka mata, kudapati diri ini terbaring di ruangan yang serba bening. Sekeliling dinding dan langit-langitnya berwarna bening. Begitu juga dengan lantainya. Ah, inikah langit tujuh belas, sebagaimana katamu dulu?

Suasana hening mendadak pecah begitu terdengar langkah-langkah mendekat. Seperti kulihat bayangan dirimu, yang kini tengah memandangku dari balik dinding bening ini. Dugaanku benar. Engkau benar-benar pergi ke langit tujuh belas ini.

Sontak ku berteriak kuat-kuat, meluapkan kegembiranku berjumpa denganmu. Tapi anehnya, tak ada nada suara yang terdengar. Apakah ruangan ini hampa udara? Sepertinya tak mungkin, karena kudengar suaramu yang tengah berbicara dengan orang sebelah kirimu.

“Dok, sampai kapan gadis ini dikurung—?”tanyamu, yang memandangku dari balik dinding, dengan raut sedih.

“Patut dicatat. Bukan kami yang menginginkannya,”ucap orang di sebelahmu. “ Gadis itu sendiri dulu yang meminta, agar ia dimasukkan kemari. Kata dia, berada di ruang transparan akan membuat pikirannya tenang dan jernih. Sejak saat itulah ia juga mulai memakai gaun-gaun transparan.”

“Kalau gitu, dok. Tolong keluarkan dia sekarang juga.”

“Maaf, kami semua tak bisa melakukannya.”

“Mengapa?”

“Sesuai pesan gadis itu, tak seorangpun berhak mengeluarkannya, kecuali ia sendiri. “

“Jadi, ia sendiri yang harus mengeluarkan dirinya?”suaramu agak meninggi ketika mengatakannya. “Sungguh tak masuk di akal. Dokter di rumah sakit ini sama gilanya dengan pasiennya.”

Cepat-cepat engkau berlalu, meninggalkan orang sebelah kirimu. Langkah-langkahmu menjauh, meninggalkan diriku yang terpasung di langit tujuh belas ini. Ah, sayangku yang terkasih dan tercinta, cepatlah kembali. Tak sabar kubercinta dengan pose begini…

134 thoughts on “(Cerpen): Langit Tujuh Belas

  1. ninelights said: TOSSS! ^_^Iya. Dan waktu kuliah dulu sempat juga nyanyiin lagu ‘hello’ dpn anak-anak..The Cranbarries juga suka..karakter vokalnya keren..:)

    wah, kl cranberries cengkok suaranya khas banget. susah ditirunya :)saya juga suka lagu2nya:)

  2. saturindu said: wah, kl cranberries cengkok suaranya khas banget. susah ditirunya :)saya juga suka lagu2nya:)

    Cranberries itu pakai suara dalam, Kakak..Anyho..Lha, emang Mas Suga bisa persis niruin suara vokalisnya Evanesence ?Coba mana aku mau denger deh. Hayooo…:))

  3. ninelights said: Cranberries itu pakai suara dalam, Kakak..Anyho..Lha, emang Mas Suga bisa persis niruin suara vokalisnya Evanesence ?Coba mana aku mau denger deh. Hayooo…:))

    mana saya tahu suara dalam apa suara luar?:))tahunya asal nyanyi, keluar suara….huehue.ada teman saya yang vokalis, rada2 persis eva kl nyanyi. makanya dulu, saya selalu request lagu itu kl ke kafenya:)

  4. ninelights said: Cranberries itu pakai suara dalam, Kakak..Anyho..Lha, emang Mas Suga bisa persis niruin suara vokalisnya Evanesence ?Coba mana aku mau denger deh. Hayooo…:))

    *pamit dulu semuah….mau clubbing….huehuehue*

  5. ibuseno said: cerpennya penuh pelajaran..matematika, biologi dan fisika…lengkap kap.tak sabar ku ingin bercinta juga 🙂

    huehuehue…keingetan masa kecil, pas mengikuti dengan seksama pelajaran2 yang menjadi momok siswa kebanyakan:)

  6. saturindu said: “Itu karena penyebutan dan penghitungannya dilakukan dengan cara konvensional , dengan pola stabil bilangan asli. Wajar saja dari 7 langit penyebutannya akan menjadi langit 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7. Coba kalau pola yang dipakai adalah pola acak seperti bilangan prima, pasti akan muncul langit 17. Karena penyebutannya akan seperti ini: Langit 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17.”“Oh, jadi langit ketujuh belas itu sebenarnya sama dengan langit ketujuh?”

    cerpen bukan biasa …pandai neh mas rindu

  7. saturindu said: “Itu karena penyebutan dan penghitungannya dilakukan dengan cara konvensional , dengan pola stabil bilangan asli. Wajar saja dari 7 langit penyebutannya akan menjadi langit 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7. Coba kalau pola yang dipakai adalah pola acak seperti bilangan prima, pasti akan muncul langit 17. Karena penyebutannya akan seperti ini: Langit 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17.”“Oh, jadi langit ketujuh belas itu sebenarnya sama dengan langit ketujuh?”

    asiiiiiiiiiiiik keren cerpennya

  8. saturindu said: “Itu karena penyebutan dan penghitungannya dilakukan dengan cara konvensional , dengan pola stabil bilangan asli. Wajar saja dari 7 langit penyebutannya akan menjadi langit 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7. Coba kalau pola yang dipakai adalah pola acak seperti bilangan prima, pasti akan muncul langit 17. Karena penyebutannya akan seperti ini: Langit 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17.”“Oh, jadi langit ketujuh belas itu sebenarnya sama dengan langit ketujuh?”

    owww….poor that girl…cepet sembuh ya neng…

Leave a reply to siasetia Cancel reply