(NoNaMe): legenda 7 Pilar


“Thalia, kisahkan kembali Legenda 7 Pilar!

“Iya. Cerita kemarin belum tuntas.”

”Baru mulai sebenarnya.”

”Iya, baru dua cerita.”

Suara si kembar Evi-Devi bersahut-sahutan, seperti berkejaran dengan suara ombak yang menderu-deru pantai.

Thalia tak segera mengamini permintaan tersebut. Matanya masih asyik bertamasya memandang kejauhan. Dalam remang gulita, samar-samar terlihat segerombolan manusia yang mengais-ngais sesuatu di pinggir hutan kecil. Merekalah para polisi yang sedang melakukan olah TKP. Di pulau kecil itu, tiga pembunuhan telah terjadi.

”Sebagaimana kubilang berkali-kali, membunuh adalah seni,”ucap Thalia tanpa ekspresi. ”Dibutuhkan motif-tendensi, yang berkorespondensi dengan skenario yang alami.”

Si kembar saling pandang. Mereka masih tak mengerti apa yang dikatakan wanita cantik nan anggun itu. Suara keduanya bersahut-sahutan lagi.

”Jadi, jika tak ada motif dan skenario…?”

”…tak boleh membunuh, yah?”

”Benarkah begitu?”

”Memangnya harus begitu, yah?!”

Senyum Thalia merekah. Wajahnya seperti bunga krisan yang bermekaran di musim semi. Ia lantas menjelaskan,”semenjak moyang kita pertama turun ke dunia hingga beberapa abad silam, bangsa kita selalu dicap manusia sebagai bangsa penggoda.”

”Bukankah memang demikian?” sahut Devi. ”Moyang kita sendiri yang bersumpah untuk menggoda adam dan turunannya.”

Yap,”timpal Evi. ”Makanya wajar-wajar saja kalau manusia beranggapan demikian.”

”Itulah kehebatan moyang kita,”Ucap Thalia, dengan senyum yang makin mengembang. ”Dia berkata begitu agar manusia tergoda untuk mempercayai sumpahnya.”

”Jadi sumpah itu tak sungguh-sungguh?”

”Jadi moyang kita Cuma bergurau?

”Bukan begitu,”tegas Thalia. ”Sumpah itu sebenarnya lebih ditujukan untuk manusia-manusia yang berkualitas; yang memang pantas untuk digoda. Tentu saja jumlah mereka tak terlalu banyak dibandingkan golongan sisanya. Tapi lihatlah yang terjadi! Kebanyakan mereka selalu menyalahkan kita, yang dianggap sebagai penyebab kelalaian mereka dalam menjalankan perintah Tuhannya. Seringkali kitalah yang disalahkan, dihujat bahkan dilaknat, untuk kesalahan yang sama sekali tidak pernah kita lakukan.

Huh, tuduhan yang benar-benar kejam,”sahut Evi, bernada geram. ”Padahal sebenarnya, itu terjadi karena mereka sendiri yang malas…”

”Atau mereka terlalu asyik mengejar urusan dunia.”

”Kadang terlalu rakus malah!”

Devi mendesah. ”Pfuhhh, sungguh tak menyangka, manusia yang katanya makhluk paling mulia, ternyata begitu rendah derajatnya.”

”Iya, bisa-bisanya mereka memfitnah bangsa kita.”

”Padahal mereka sendiri yang sering bilang, kalau fitnah lebih kejam dari pembunuhan…”

Yap, Masih mendingan membunuh daripada memfitnah. Setidaknya itu lebih ksatria.”

”Berarti mereka pantas mati?”

”Kurasa begitu.”

Untuk beberapa saat Thalia membiarkan si kembar berbicara sahut-menyahut. Ia lalu menjelaskan,” Memang, pemikiran itulah yang lantas dikembangkan oleh Moyang kita. Karena manusia sudah dianggap keterlaluan, bangsa kita mengadakan re-orientasi strategi. Kalau dulunya sekedar penggoda, mulai saat itu peran bangsa kita bertambah menjadi eksekutor. Dan kitapun mulai melegalkan pembunuhan atas manusia. Tentu saja ada aturannya. Hanya yang lulus protokol keempat yang boleh melakukannya. Dan syarat lainnya, harus ada motif-tendensi dan skenario alami, karena disitulah letak seninya.”

”Peran yang menantang. ”sahut Evi, dengan nada riang.

”Sayangnya, kami berdua belum lulus protokol keempat.”

”Iya, rumit juga yah, kalau mau membunuh.”

”Dalam Legenda 7 Pilar, Itulah yang terjadi dengan anak bernama Suarsti. Sebenarnya kita tak berniat membunuhnya.”

Mendengar Thalia menyebut kata ’Legenda 7 Pilar’, si kembar lantas bersahut-sahutan kembali.

”Oh, gadis kecil yang menjerumuskan orang tuanya?”

”Wah, sayang yah?! Masih kecil sudah mesti tewas.”

”Iya, padahal dia aset berharga. Bayangkan saja seandainya dia terus hidup. Pasti akan makin banyak orang yang sengsara oleh ulahnya.”

”Yah, apa boleh buat. Itu bagian dari barter dengan pemuda sialan itu, khan?!”

Thalia yang mendengar obrolan tersebut pura-pura merajuk. ”Sepertinya kalian tak perlu mendengar cerita lengkapnya.”

Sontak terdengar tawa tertahan. Nyaris serempak. Dalam banyak hal, si kembar Evi-Devi memang kompak.

”Jangan gitu, donk!” Ucap mereka, nyaris bersamaan.

Thalia tersenyum sejenak, kemudian berkata lagi. ”Kalau begitu, dengarkan ceritanya dan jangan menyela. Ok?!”

Alkisah, hiduplah sepasang suami-istri yang cukup berbahagia. Mereka bisa dibilang hampir memiliki segalanya. Harta cukup berlimpah, kedudukan lumayan tinggi, serta pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kalaupun ada yang kurang, itu dikarenakan setelah sebelas tahun pernikahan, rumah mereka yang besar terasa lengang dan sepi. Tanpa tangis bayi.

”Kita bisa mengangkat anak, kalau mami mau,”ucap Bei, sang suami. Ia sepertinya sangat memahami keresahan istrinya.

Istrinya cepat-cepat menampik. ”Jangan cepat menyerah dong, Pi. Beberapa tetangga bilang, di kaki bukit Lirang ada seorang Kyai yang mumpuni. Pasangan yang dulunya tak punya anak…”

”Ah, mami kenapa percaya yang gitu-gituan?”

”Lho, itu khan bagian dari ikhtiar, Pi. ”

”Lagian juga riskan.” ucap suami. ”Kehamilan di usia segini rawan—”

Tapi sang Istri keukeuh. ”Sudahlah, Pi. Kalau itu terjadi, bukankah itu anugerah yang mesti disyukuri?! Kalau perlu aku berhenti kerja. Lagian, buat apa kita kumpulin uang banyak-banyak kalau nanti nggak ada yang ngabisin.”

Lima hari berikutnya mereka datang pada Kyai yang dimaksud.

Subhanalloh, nikmat yang kita punyai ini sesungguhnya amatlah berlimpah. Tapi seringkali kita semua tak menyadarinya.”Kata Kyai, sambil menggoyangkan telunjuk kanannya beberapa kali. Nadanya yang terdengar berat seolah mewanti-wanti kedua tamunya untuk berhati-hati. ”Sesungguhnya, nikmat itu bukan hanya perkara memiliki sesuatu. Tak memiliki sesuatupun, sesungguhnya juga merupakan nikmat. Tapi amat sedikit manusia yang menyadari hal ini.”

”Maksudnya gimana, Kyai?” Bei mengerutkan dahinya.

”Seumpamanya harta. Kebanyakan manusia beranggapan bahwa memiliki banyak harta merupakan anugerah. Akan banyak manfaat yang bisa dilakukan. Menyumbang masjid, menyantuni anak yatim, fakir miskin, dan lain-lain. Padahal, seringkali tidak demikian. Harta banyak justru sering menjerumuskan. Mungkin dipakai foya-foya, atau malah dipakai untuk hal-hal maksiat. Justru kadangkala, tak memiliki banyak harta malah akan banyak mendatangkan manfaat. Banyak Sufi yang malah menganjurkan untuk berzuhud, agar kita dekat dengan sang Khalik.”

Bei manggut-manggut. Disimaknya perkataan Kyai. Biar demikian, ia masih belum terlalu paham.

”Begitu juga anugerah berupa anak,”Kyai melanjutkan penjelasannya. ”Kadangkala, tak memiliki anak malah mendatangkan kebahagiaan yang besar.”

Istri Bei yang dari tadi ikut menyimak, lantas menyahut cepat-cepat. ”Maaf, Kyai. Tentunya akan lebih besar lagi nikmatnya, andaikan kita dikaruniai anak. Kalau tak salah, saya pernah baca, salah satu doa yang mustajab adalah doa anak pada orang tuanya.”

”Benar sekali,”sahut Kyai seraya tersenyum penuh arti. ”Tentunya itu berlaku bagi anak yang sholeh.”

”Itulah, Kyai. Kami sangat mendamba anak yang soleh.”ucap istri Bei penuh harap. ”Karenanya, kami datang kemari!”

Kini dahi Kyai berkerut. Gelombang harapan yang dibawa kedua tamunya terasa menjulang. Lebih tinggi dari bukit yang menjulang di depan rumahnya. Ia tak bisa apa-apa, kecuali berdoa pada sang pemilik semesta raya. Dipejamkannya mata beberapa lama. Sambil menahan napas. Mulutnya komat kamit. Seperti membaca mantra. Untuk beberapa lama suasana terasa lengang. Bei dan Istrinya beberapa kali beradu pandang. Mereka hanya bisa menunggu hingga Kyai menyelesaikan ritualnya.

”Kalian pernah dengar kisah nabi Khidir?”Suara Kyai terdengar memecah hening. Begitu keduanya menggeleng, Kyai meneruskan perkataannya. ”Pernah suatu ketika, nabi Khidir berkelana ke suatu negeri, lalu mendapati seorang anak kecil yang molek. Tanpa babibu, dibunuhlah anak itu.”

Suami istri itu saling pandang.

”Dibunuh, Kyai?” Tanya Bei.

Kyai menggangguk.

”Tapi, mengapa seorang nabi bisa melakukan pembunuhan?”

”Pertanyaan itu juga dilontarkan nabi Musa dulu, yang saat itu menyertai Khidir. Beliau merasa janggal atas sikap nabi Khidir yang amat misterius. Setelah dijelaskan, bahwa anak itu nantinya jadi anak durhaka yang mencelakakan kedua orang tuanya, barulah nabi Musa paham.”

Mendapat penjelasan tersebut, Bei dan istrinya manggut-manggut.

”Tentunya, hal begitu tak akan terjadi di masa kini.”Kata Bei, sambil tersenyum takzim.

”Kalau kami punya anak, insya Allah akan kami pondokkan,”sahut istri Bei. ”Biar menjadi sholeh, tak seperti anak dalam cerita tadi.”

Sang Kyai tersenyum. Ia memang amat paham, keinginan kedua tamunya untuk memiliki anak tak bisa dibendung lagi. Ia kemudian berpesan, ”Banyak-banyak berdoa. Dan mintalah perlindungan pada Yang Maha Kuasa. Karena Dialah, yang Maha Mengetahui segala rahasia.”

Begitu suami-istri itu tiba di rumah, sebagaimana wejangan Kyai, mereka segera menanam pohon pisang kecil di halaman rumah. Bergantian mereka menyiram dan merawat pohon pisang itu.

Pisang itu nyaris mati tiga minggu kemudian. Merekapun panik.

”Wah, celaka. Bisa-bisa kita tak jadi punya anak.”

Setelah mengutarakan permasalahannya pada Kyai, mereka diberi wejangan untuk bersabar. Keduanya diminta lebih mendekatkan diri pada sang pencipta.

Dua minggu setelahnya, pisang mereka mulai tumbuh daun-daun baru. Bersamaan dengan itu, kabar gembira diterima Bei. Istrinya hamil!.

Pada saat usia kandungan menginjak tujuh setengah bulan, istri Bei mengalami pendarahan. Operasipun dilakukan demi menyelamatkan sang bayi. Kehadiran bayi berwajah putih bersih itu amat membahagiakan mereka. Bayi itu mereka beri nama Suarsti.

Di pesta ulang tahun Suarsti ketiga yang dirayakan secara meriah, mendadak Suarsti pingsan. Itu terjadi setelah sebuah balon meletus di tengah acara. Dari analisa dokter, diketahui jika Suarsti menderita lemah jantung.

Penyakit itu membuat suami istri itu ekstra hati-hati dalam merawat Suarsti. Untuk membahagiakan puteri semata wayang, mereka rela melakukan apa saja, termasuk memenuhi segala permintaannya. Berbagai mainan yang Suarsti minta, segera mereka turuti.

”Aku mau sepeda, Ma,”rengek Suarsti, yang cemberut melihat teman SD-nya mengayuh sepeda.

Dua jam kemudian, sepeda barupun datang.

”Nggak mau. Aku maunya sepeda yang kaya’ Puan.”rengek Suarsti, sambil berguling-guling.

”Tapi, Nak, sepeda itu jelek. Bagusan sepeda yang ini,” rayu sang Mama, menunjukkkan sepeda merahnya. Ia sesungguhnya panik, karena model sepeda Puan sudah tak dijual di toko-toko.

”Pokoknya maunya itu, maunya itu…” rengek Suarsti, dengan keringat bercucuran. Tak lama kemudian, ia ambruk.

Istri Bei menemui ibu Puan.

”Tolonglah, Bu. Pinjami sepeda Puan dulu.”
”Tapi, Bu. Anak saya juga nggak mau sepeda lainnya.”ucap ibu Puan, yang seolah tak rela melepas satu-satunya sepeda. ”Trus gimana?”

Istri Bei terlihat geram. Tapi ia berusaha sabar. ”Bu, ingat khan, kalau saya dulu sering membantu ibu? Sekali ini saja, saya minta tolong…”

Tiga hari setelah puas bermain-main dengan sepeda Puan, Suarsti yang sudah pulih dari kesadaran, kembali merengek.

”Ma, Pa. Suarsti minta itu…”ucap Suarsti, sambil menunjuk-nunjuk TV.

Suami istri itu saling pandang. Bagaimanapun mereka membujuk, Suarsti selalu bersikukuh pada apa yang dimintanya. Tak bisa tidak!

Sudah sering Suarsti meminta barang-barang yang ia lihat di TV, yang tidak bisa didapat dengan cepat. Tak jarang barang yang Suarsti minta juga mahal.

Tapi permintaan sekarang hampir tak masuk akal. Bergantian Bei dan istrinya membujuk gadis kecil itu.

”Nak, penguin itu adanya di kutub. Tak bisa dibawa kemari.”

”Iya, nak. Nanti mati.”

”Diganti beruang aja, yah?!”
”Atau lumba-lumba.”
”Iya, lumba-lumba makhluk yang cerdas, lho. Bisa diajak ngobrol-ngobrol.”
”Nggak mau, nggak mau….udah sering liat lomba-lomba. Penginnya penguin.”

Setelah merengek, Suarsti mendadak pingsan. Dulu, Bei dan istrinya sangat cemas sewaktu pertama melihat hal begini. Mereka langsung membawanya ke UGD. Tetapi lama kelamaan, mereka terbiasa. Dengan memberi bau-bauan yang menyengat, Suarsti akan sadar dari pingsannya.

Begitu sadar, Suarsti selalu meminta hal yang sama. Tak pernah bisa ia dialihkan oleh apapun. Begitu juga saat itu, ketika ia meminta penguin.

Istri Bei yang hampir kehilangan kesabarannya, berbisik pada suaminya.

”Cobalah ke pak Nardi. Moga-moga bisa bantu.”

”Dia sudah pensiun dari bea cukai, nggak bakalan bisa bantu.”

”Beliau khan pasti masih punya relasi. Bapak khan sering bantu dia dulunya.”

Bei menuruti perkataan istrinya. Iapun memacu kendaraannya menuju rumah mantan kepala Bea Cukai itu.

”Saya mohon, pak.”ucap Bei, dengan berat hati. ”Bantu saya, sekali ini saja.”

”Bukan masalah uangnya, pak.”kata pak nardi, dengan nada hati-hati. ”Tapi, bagaimana mungkin membawa penguin hidup-hidup kemari?”

”Kali ini saya bener-bener minta tolong, pak. Dengan cara apapun, bawa penguinnya kemari. Hidup atau mati.”

Sepuluh hari kemudian, Suarsti sudah bisa bermain-main dengan penguin Siberia seharga 7 Milyar itu. Bei perlu menyuap beberapa kepala departemen, untuk membawa penguin yang ditempatkan dalam kontainer kaca itu ke rumah mereka.

’Harga kebahagiaan ternyata amat mahal,’ desahnya.

”Jadi Papi nggak ikhlas mengeluarkan uang segitu untuk kebahagiaan anak?”
sindir istrinya.

”Bukan gitu, Mi. Iya, kalau bisa dijangkau. Nanti kalau permintaan Suarsti makin aneh-aneh gimana?”

Istrinya terdiam. Dalam hati ia menyetujui ucapan suaminya. Bagaimana jika Suarsti minta telor Dinosaurus, atau Asteroid misalnya. Mampukah mereka memenuhinya?

”Pak, coba kita ke dokter. Semestinya penyakit Suarsti bisa disembuhkan. Teknologi khan makin modern.”

Sejam berikutnya di ruangan dokter.

”Sebenarnya bisa, dengan transplantasi jantung. Kemungkinan berhasilnya cukup besar Tapi terus terang, kami tak berani menjamin.”

”Caranya gimana, dok?”

”Harus ada yang donor jantung.”

Kedua suami istri saling pandang. Seakan masing-masing hendak mengajukan diri, sebagai pendonor..

”Jantung yang didonorkan harus sesuai. Jadi mesti nyari jantung anak-anak. Itupun harus dites dulu.”

”Dok, coba bantu kami, diumana mencarikannya.”

”Mencari donor jantung anak, jauh lebih susah dibanding orang dewasa.”

”Mengapa begitu?”

”Mendonorkan jantung, sama halnya donor nyawa. Semua orang tua sudah pasti tak akan mengijinkan jantung anaknya didonorkan, kecuali dalam kondisi darurat.”

”Nggak ada solusi, dok?”

”Maaf, saya hanya bisa memberi pertimbangan medis.”

”Dok, untuk kali ini…tolong bener-bener bantu kami.”ucap istri Bei, dengan nada trenyuh.

Dokter mencondongkan wajahnya ke depan. Ia berkata pelan. ”Coba cari anak kecil, yang tidak punya orang tua. Cari yang kira-kira sama usianya dengan anak bapak. Nanti saya bantu transplantasinya…”

Setelah meninggalkan ruangan dokter, hati Bei bergolak. Demi kesehatan anaknya, ia mesti mengorbankan nyawa anak lain. Sebuah tindakan yang tidak bisa ditoleransinya. Selama ini, kebahagiaan yang dipersembahkan pada anaknya, seringkali melanggar batas-batas kenyamanan orang lain. Beberapa malah berpotensi menimbulkan masalah besar. Nyata sekali, apa yang dikatakan Kyai terbukti. ”Nikmat bukan hanya perkara memiliki sesuatu.” Mempunyai anak, ternyata tak membuat hidupnya lebih bahagia. Ia sering bergantung pada orang lain, dan malah kadang-kadang menyusahkan mereka.

’Yah, apa boleh buat. Sudah terlanjur!’ ucapnya pasrah.

Tiga belas hari kemudian, Bei mendapat kabar kalau calon pendonor jantung sudah didapatkan. Dialah anak jalanan yang sehari-hari mangkal di perempatan. Beberapa orang yang sudah ditugaskan Bei, menangkap anak tersebut dan membiusnya.

Transplantasi jantung terhadap Suarsti berjalan dengan sukses. Dokter beberapa kali melakukan tes kejut, untuk menguji apakah Suarsti masih menderita lemah jantung atau tidak.

”Lihatlah, anak ibu sudah normal sekarang,”ucap dokter.

Tepat diulang tahun Kesembilan Suarsti, Bei dan istrinya mengundang banyak orang. Mereka merayakan besar-besaran pesta ulang tahun itu. Banyak balon yang yang terikat di langit-langit rumah. Beberapa balon tiba-tiba meletus. Suami-istri itu was-was. Mereka lantas memandangi anaknya yang sedang berloncat-loncatan.

’Ternyata Suarsti benar-benar sembuh, Mi!’ucap Bei, memeluk istrinya.

”Iya, Pi.”sahut istri Bei dengan hati gembira. Dirangkulnya Suarsti yang kini asyik meletuskan satu persatu balon.

Letusan balon-balon itu tak membuat anak itu kaget sedikitpun.

”Ini, Ma. Balon terakhir.”Suarsti menunjukkan balon itu pada mamanya. Sesaat berikutnya, ia mencoblosnya.

Dhor…!

Begitu melihat Suarsti yang masih segar bugar, istri Bei kembali merangkulnya. Ia kelihatan amat bahagia. Detik berikutnya, ia seperti mendengar suara balon meletus, tapi kali ini suaara balon itu terdengar agak pelan. Ia mencari asal suara, tapi tak menemukannya. Tiba-tiba tubuh Suarsti yang dari tadi ia peluk, terasa lemah tak bertenaga. Suarstipun ambruk di bahunya. Dilihatnya wajah anak itu yang agak kebiruan.

Buru-buru Bei dan istrinya membawa anak mereka ke rumah sakit. Tetapi nyawa anak itu sudah tak tertolong. Suami-istri itu lunglai, melihat anak mereka yang sudah terbujur kaku. Usai sudah perjuangan mereka, dalam membahagiakan sang anak.

”Yang menurut kami agak janggal,”kata dokter,”organ jantung Suarsti tak ada.

”Tak ada?”seru Bei dan istrinya, nyaris bersamaan.

”Iya. Di rongga dadanya bukan jantung yang ditemukan. Tapi ini…”

Mereka berdua terbelalak, begitu dokter menunjukkan sebuah benda berwarna merah. Benda itu adalah balon karet…


“Itulah kehebatan protokol keempat. Pemiliknya bisa berubah wujud menjadi apa saja!” tutur Thalia, mengakhiri ceritanya.

“Oh, berarti yang jadi anak jalanan itu…”

“Thalia yah?” sahut Devi, menimpali perkataan saudara kembarnya.

“Yah, aku menyamar jadi anak itu,”jelas Thalia. “Agar skenario-nya sesuai dengan motif mereka. Itu cara terbaik menurutku, untuk membunuh Suarsti.”

“Lain kali cerita lagi, yah…”

“iya, masih kurang empat.”

Thalia mengangguk, mengiyakan.


112 thoughts on “(NoNaMe): legenda 7 Pilar

  1. pa1pita said: saya orang ketiga yang bilang “keren”……!!!!!hehehehebanyak banget pesan moralnya dan tepat mengenai saya

    haha…copas kata ‘keren’ yah?:))di balik semua peristiwa, ada hikmah yg tersimpan:)

  2. fendikristin said: kereeeennn…kereeeennnnn!! *sambil ngebayangin Mas Suga bacain dongeng sebelum tidur-nya si Annabelle* kereeennnn abiiiissssss

    waaah, iya….pasti ntar oom suganya yg ketiduran, kl bacain cerita. Dan Annabelle, terbengong2 sendiri:))

  3. saturindu said: haha…copas kata ‘keren’ yah?:))di balik semua peristiwa, ada hikmah yg tersimpan:)

    biar copas tapi tetap kratif donk.heheheheyup, mudah2an bisa dapat mengambil hikmahnya dengan benar :-)pas banget nih ceritanya dengan yang kualami sekarang, critanya sih lagi ada sedikit masalah 😀

  4. saturindu said: wah, boleh di-share donk ceritanya, :)ayo tulis,…di dinding kamar juga boleh:))

    Sampe ada khidir dan musa eeh si suarsti -nama yg unik- malah berjantung balon.. Dedemit namanya keren2 oi, thalian evi, devi.. Khas suga..

Leave a reply to saturindu Cancel reply